Jakarta – Kesejahteraan mental saat ini bermetamorfosis menjadi salah satu topik yang digunakan sejumlah dibicarakan warganet di media sosial. Bagaimana tidak, prevalensi gangguan jiwa keseimbangan yang disebutkan semakin meningkat di masyarakat.
Menurut data WHO, prevalensi gangguan jiwa mental dalam Indonesia mencapai 9,8% pada tahun 2021, dengan nomor depresi mencapai 6,6%. Angka yang disebutkan diperkirakan akan terus meningkat di dalam tahun 2024, teristimewa akibat dari dampak pandemi wabah Covid-19 yang tersebut berkepanjangan.
Hal yang dimaksud memacu adanya peningkatan kesadaran kemudian upaya untuk meningkatkan literasi keseimbangan mental, satu di antaranya penanganan lalu pencegah penyakit mental. Kendati demikian, kerap kali warga dibuat bingung oleh dua keadaan kejiwaan yang tersebut banyak menyerang, yakni masalah bipolar (GB) lalu skizofrenia.
Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ, SubSp A.R. (K), MIMH selaku Guru Besar Psikiatri Subspesialis Anak dan juga Remaja FKUI-RSCM mengungkapkan gangguan bipolar (GB) lalu skizofrenia sekilas miliki gejala yang digunakan hampir mirip tapi keduanya sangatlah berbeda. Bahkan penyakit ini mulai menyerang anak-anak hingga remaja.
“Sama-sama menyebabkan inovasi perilaku pada pengidapnya tapi kelainan bipolar juga skizofrenia sangatlah berbeda. Tantangan keseimbangan mental ini dulunya dianggap belaka menyerang pendatang dewasa, tapi pada saat ini juga memengaruhi anak-anak juga remaja dengan tingkat yang dimaksud mengkhawatirkan,” kata Prof. Tjhin ketika konferensi pers ‘Compliance and Care, a roar to recovery for individual with Bipolar and Schizophernia’ di Ibukota Pusat, Rabu (14/5/2025).
Lebih lanjut, ia mengatakan, beberapa studi serta pengalaman ke meja praktek memperlihatkan perkara yang mana muncul tambahan awal atau early-onset berlangsung dalam usia yang lebih tinggi muda, dan juga kerap kali tidak ada terdiagnosis dikarenakan kurangnya kesadaran atau salah mengartikan gejala sebagai perilaku remaja yang umum. Kondisi kesegaran mental seperti ini mampu mengganggu perkembangan, pendidikan, kemudian hubungan remaja apabila tiada diobati dengan tepat.
Pengidap skizofrenia biasanya sulit membedakan mana khayalan dan juga mana kenyataan. Mereka kerap kesulitan untuk mengendalikan emosi juga perasaannya di keadaan tertentu.
“Penderita skizofrenia mengaku banyak mendengar suara-suara aneh serta meninjau sesuatu yang sebenarnya bukan nyata,” paparnya.
Skizofrenia memiliki komponen risiko seperti genetik, perinatal atau komplikasi sejak lahir, lingkungan, dan juga neurodevelopmental atau kelainan rangka otak. Beberapa gejalanya seperti gejala positif (halusinasi, delusi), gejala negatif (kurang motivasi dan juga cenderung datar), kemudian disorganisasi (bicara bukan koheren lalu perilaku tidak ada sesuai konteks).
Sementara bipolar disorder adalah keadaan kejiwaan yang dimaksud menciptakan pengidapnya rutin mengalami inovasi mood yang tersebut ekstrem. Akibatnya, perasaan merekan bisa saja cepat sekali berubah hanya sekali di hitungan menit.Beberapa gejala yang dimaksud sanggup dikenali seperti episode mania atau suasana emosi sederhana marah, episode depresi atau suasana sedih mendalam kemudian keinginan bunuh diri, hiperaktif, sangat bahagia, lalu penuh energi.
Bipolar terjadi akibat beberapa faktor risiko seperti genetik, lingkungan, neurobiologis, lalu psikososial. Diagnosis juga intervensi dini sangat penting untuk meningkatkan hasil pengobatan.
Artikel ini disadur dari Gangguan Bipolar dan Skizofrenia Berbeda, Ini Penjelasan Guru Besar UI











