JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah memicu konflik dagang dengan China dengan memberlakukan tarif sebesar 125% terhadap barang-barang impor jika Negeri Tirai Bambu. Langkah ini secara langsung dibalas oleh Beijing dengan mengenakan tarif balasan sebesar 84% terhadap produk-produk jika AS.
Meskipun Trump juga mengenakan tarif tinggi terhadap beberapa negara lain, kebijakan yang dimaksud sempat ditangguhkan selama 90 hari. Trump masuk akal bahwa tarif akan mendongkrak sektor manufaktur domestik dan juga melindungi lapangan kerja di dalam Amerika. Namun, kebijakan ini justru memicu kekacauan pada perekonomian global kemudian dikhawatirkan akan menyebabkan kenaikan nilai tukar bagi konsumen.
Sebagai informasi, tarif adalah pajak berhadapan dengan barang yang tersebut diimpor dari luar negeri, biasanya di bentuk persentase dari nilai produk. Misalnya, tarif 125% menghadapi barang China berarti barang senilai USD10 akan dikenai pajak sebesar USD12,50, sehingga total biaya menjadi USD22,50.
Selama beberapa dekade, Trump berpendapat bahwa tarif dapat menjadi alat untuk meningkatkan kekuatan perekonomian AS. Ia mengklaim, kebijakan yang dimaksud akan mengupayakan warga Amerika untuk membeli hasil lokal, meningkatkan penerimaan pajak, kemudian menarik lebih banyak berbagai penanaman modal di negeri.
Melansir BBC, Trump menegaskan ingin mengempiskan ketimpangan antara nilai barang yang digunakan dibeli Amerika Serikat dari negara lain dan juga nilai barang yang digunakan dijual ke negara-negara tersebut. Menurutnya, Amerika telah terjadi “dimanfaatkan” kemudian “dijarah” oleh pihak asing lalu tarif merupakan cara untuk mengakhiri praktik tersebut.
Berikut adalah tiga alasan utama di area balik kebijakan konflik dagang Trump terhadap China:
1. Kesulitan Defisit Perdagangan
Trump berulang kali menyoroti defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China yang mana mencapai lebih tinggi dari USD300 miliar per tahun. Ia menilai bahwa ketidakseimbangan ini mencerminkan praktik dagang yang mana tidaklah adil, di dalam mana China mengekspor jarak jauh tambahan berbagai ke Amerika Serikat dibandingkan yang mana diimpornya. Tarif diberlakukan untuk menghurangi ketimpangan ini dan juga memaksa China membuka akses yang dimaksud tambahan adil bagi barang Amerika.
2. Pencurian Kekayaan Intelektual kemudian Transfer Teknologi Paksa
Perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi dalam China seringkali dipaksa berbagi teknologi dengan mitra lokal sebagai persyaratan untuk bisa saja berbisnis di tempat sana. Pemerintahan Trump menuduh China melakukan pencurian kekayaan intelektual secara sistemik juga menerapkan kebijakan transaksi teknologi secara paksa, yang mana dinilai memberikan keunggulan tidak ada adil bagi perusahaan-perusahaan China.
3. Kebijakan Industri China kemudian Intervensi Negara
Program ambisius seperti Made in China 2025 dirancang untuk menjadikan China sebagai pemimpin pada industri-industri strategis seperti kecerdasan buatan, robotika, lalu teknologi tinggi lainnya. Amerika memandang kebijakan ini sebagai ancaman segera terhadap dominasinya pada bidang teknologi.
Apalagi, banyak perusahaan China mendapatkan subsidi besar dari pemerintah, yang tersebut menurut Amerika Serikat merusak prinsip persaingan pangsa global. Perang dagang ini menandai perpindahan besar pada pendekatan Negeri Paman Sam terhadap hubungan dagang dengan China serta menciptakan ketidakpastian di tempat lingkungan ekonomi global. Dampaknya terasa tidaklah hanya sekali di area kedua negara, tetapi juga di tempat seluruh dunia.